Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2025

Menjadi Dewasa

Ternyata, lebih baik berteman dengan diri sendiri sepenuhnya, selamanya, seharusnya. Siapa yang benar-benar bisa kita anggap dalam hidup yang serba sendiri ini? Tak ada yang sungguh peduli pada apa yang kita rasakan, maka berusahalah sebaik mungkin untuk membahagiakan dirimu sendiri. Semakin dewasa, semakin banyak kita belajar. Belajar introspeksi, belajar memahami diri sendiri. Dan pada akhirnya kita sadar, di balik diri yang dipaksa dewasa ini, ada anak kecil yang masih ingin bermain-main dengan setiap kejadian yang datang. Anak kecil itu merusak ego kita yang mau terus bertumbuh menjadi lebih baik, seakan apa yang kita rencanakan untuk kehidupan selanjutnya tidak ada apa-apa nya. Lalu? Bagaimana selanjutnya? Apakah menjadi dewasa memang seberat ini? Memikul ego anak kecil, dan membiarkan luka-luka tumbuh tanpa disengaja..  Bagaimana jika ternyata, hidup ini bukan lagi tentang siapa pun, melainkan tentang kita dan perjalanan yang sedang kita jalani. Kita mulai berhenti memeduli...

Tentang Bapak

Bapak saya dulu Nelayan, karena sebuah keharusan demi bertahan hidup beliau terpaksa belajar skill baru sebagai tukang bangunan, pekerjaan yang ditekuni hingga hari ini. Sudah hampir 1 minggu terakhir beliau merantau ke kampung sebelah untuk bangun Sekolah bersama timnya. Beliau bukan kepala tukang, tapi selalu dipanggil kalau ada project bikin sekolah, kos-kosan, puskesmas di daerah T3 (1 kali) dan rumah hunian di kampung (ini paling banyak) Rumah kami pun beliau yang bangun sendiri, kadang dibantu adik, kadang juga om. Belajar dari pengalaman Bapak, beliau selalu menyampaikan “ Kalau sukses, jangan sukses sendirian nak, bawa juga oranglain” Wallahi, kata-kata ini keluar begitu tulus terucap sampai saya selalu ingat dan menjadikanhya sebagai prinsip hidup. Banyak hal yang saya pelajari dari bapak, termasuk soal kejujuran. Jujur adalah prinsip hidup yang paten harus dikantongi terus kalau kemana-mana. Bapak berhasil mendidik kami dengan kesederhanaannya. Dulu pernah di ajarkan makan da...

Yaaa Namanya Juga Manusia

 "Bicaralah secukupnya" Ga semua yang ada dikepala harus dikeluarin. Nanti kesannya, saat kita mulai berbicara orang-orang jadi tidak peduli ya karena yang keluar dari mulut juga ga penting. Saat kita ingin didengar, orang-orang sibuk dengan urusannya sendiri. Apakah contoh berkomunikasi seperti itu yang kita inginkan? Tak jarang, kita juga menyalahkan orang lain tentang hal itu, tapi apakah kita pernah berpikir “Kalau yang orang lain lakukan, sebenarnya contoh dari perilaku kita juga " Semakin lama hidup didunia, banyak bertemu orang-orang, makin ngeboost kita untuk "semakin sering intropeksi" Because we’re going to meet people with different kinds of personalities come on guys  Aku selalu percaya dengan kalimat ini, kita akan terus dihadapkan dengan banyak kebaikan, kalau kita juga mau terus belajar lebih baik lagi.  Tidak semua orang harus kita dengar, dan tidak semua orang harus dengar kita. Dan mari belajar untuk memaklumi hal-hal yang tak wajar sekalip...

_Quoteress

Pada akhirnya, keluarga adalah tempat di mana kita merasa diterima, meski tak selalu sempurna. Meskipun jarang berkumpul, mereka tetap menjadi bagian yang tak tergantikan dalam hidup kita, dan di setiap doa, kita berharap bisa merasakan kebersamaan itu lagi.

Alexithymia

Aku tidak hidup dengan ' trauma masa kecil ' hanya mencoba mengobati luka-luka kecil. Aku jarang bercerita, hanya sering mendengar keluh kesah orang-orang. Kenapa hidup seperti tak ada tujuan?  Aku tidak mencintai diriku, aku tidak mencintai segala kurangnya, tapi aku juga tidak memaksa bagaimana harus se sempurna orang-orang. Hidup ini milik siapa? Jalan ini milik siapa? Mataku sayup, tatapanku kadang kosong, kutatap kaca di samping jendela dan berkata “Kau ini sebenarnya siapa?” dengan nada tidak bersemangat..  Aku juga bingung harus bagaimana Bu, anak ini tidak baik-baik saja Pak, anak ini banyak luka yang tidak bisa ia ceritakan Aku tidak mengenal emosiku, buta bu buta kau tau?  Aku mengalami kebutaan emosi.. Dan ibu tidak tau.  Bagaimana aku harus menerima diriku bu?  Ingatan itu masih terbayang di kepala ku, tidak bisa aku lupakan kalimat-kalimat menyakitkan itu. 

Bab 20 : Jalan Pulang yang Berbeda

Dos yang bertuliskan "untuk anakku, (restiana) di Palu" Kembali aku terima dengan senang hati. Isinya banyak, ada kue, bahan-bahan dapur juga kebutuhan ku sehari-hari didalam tas. Aku jadi ingat, sewaktu masih sekolah di pesantren ibu selalu membekalkan ku makanan untuk stok di pondok ada juga sabun cuci, sabun mandi dan lain-lain  persis seperti saat aku kuliah masih diperlakukan seperti anak SMA yang akan bersekolah di pesantren lagi. Usiaku saat itu masih 15 tahun saat menempuh pendidikan di pesantren. Anak bungsu perempuan ini harus jauh dari kedua orang tuanya. Bapak yang waktu itu tidak mengizinkan untuk bersekolah di tempat yang sudah kaka pilih, jadi terpaksa aku dihadapi dengan banyak sekali pilihan “sekolah atau tidak? Atau lanjut di pendidikan menengah kejuruan? yang biasa disebut SMK” tapi berbeda sekali dengan mimpiku waktu SD ingin bersekolah di pesantren, karena saat aku ingin melanjutkan pendidikan di MTS bapak tidak memberi izin, jadinya aku bersekolah di S...