Retorika Kosong, Two State Solution.?

 Pak, sebagai orang yang masih waras, saya tidak akan pernah mengakui Isra*l sebagai negara yang layak dijamin keselamatannya, apalagi disebut berdaulat.

Sampai kapan pun, saya tidak akan seberani itu membenarkan narasi yang seolah-olah menutup mata dari penindasan terang-terangan yang mereka lakukan yang nyata terlihat di media.

Maaf, Pak. Kali ini, semua pernyataan Bapak adalah blunder besar.

Mengakui Isra*l sebagai negara berdaulat yang harus dijamin keselamatannya, di tengah kehancuran Gaza, adalah bentuk paling telanjang dari pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Ini bukan lagi soal strategi diplomatik  ini soal apakah kita masih punya hati nurani atau tidak.

Bagaimana mungkin sebuah entitas yang membombardir rumah sakit, membunuh anak-anak, menghancurkan tempat ibadah, dan memblokade akses makanan serta obat-obatan, masih dianggap “layak” dilindungi?


Jika itu disebut sekadar blunder, maka ini adalah blunder yang fatal  yang mencoreng akal sehat dan mempermalukan rasa kemanusiaan kita.

Kami yang waras, tidak akan pernah tunduk pada narasi yang memutihkan darah, memanipulasi fakta, dan membungkam penderitaan rakyat Palestina.


Kami tidak diam, dan tidak akan pernah diam.


(Malah membuka cela) Sadar kah kita? Kita sedang diserang bukan hanya dengan senjata, tapi dengan serangan pemikiran yang halus dan berbahaya.

Zaman sekarang porak-poranda, astagfirullah... informasi diputarbalikkan, fakta diputar, dan kebenaran disembunyikan di balik propaganda.

Banyak orang terjebak dalam perang opini yang membuat mereka lupa mana yang benar dan mana yang dusta.

Ini adalah perang jiwa dan nurani, di mana yang lemah dan tertindas harus berjuang dua kali: menghadapi kekerasan fisik sekaligus manipulasi pikiran.

Ya Rabb, lindungi kami dari kebodohan, tutup pintu bagi mereka yang ingin menyesatkan, dan bukakan mata hati kami agar selalu memegang teguh kebenaran.

Jangan biarkan kezaliman dan kebohongan menjadi norma.

Kita harus terus waspada, kritis, dan berani bersuara. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?


Kalau Israel dan Palestina disebut “perang,” itu sakit jiwa.Tidak ada perang yang melibatkan anak-anak, ibu hamil, lansia. Kalau masih ada yang bilang Israel-Palestina itu cuma perang biasa, kalian sakit jiwa.


Memang, dalam banyak kasus, konflik ini lebih pantas disebut penjajahan atau genosida daripada perang, karena:

  • Korban utamanya adalah warga sipil, termasuk anak-anak, ibu hamil, dan lansia.

  • Kekuatan sangat timpang—satu pihak adalah negara dengan persenjataan canggih, satu pihak adalah wilayah yang terkepung dan terblokade.

  • Pelanggaran HAM berat terjadi secara sistematis dan terus menerus.


Banyak orang di dunia, termasuk pakar hukum internasional, aktivis HAM, dan sebagian besar negara di Global South, menolak pengakuan Israel sebagai negara berdaulat dalam konteks penjajahannya atas Palestina. Karena:


  • Negara yang sah tidak dibangun di atas tanah rampasan dan darah warga sipil.

  • Kedaulatan tidak bisa dijadikan tameng untuk menutupi kejahatan perang dan apartheid.

  • Perlindungan internasional seharusnya diberikan kepada yang tertindas, bukan kepada pelaku penindasan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polemik Rasa

Tentang kita yang berusaha menjadi baik.

Menjadi Dewasa